
Tiga hari menjelang Minggu Paskah, umat Kristiani di seluruh dunia memasuki fase puncak dari Pekan Suci. Bukan hanya sebuah seremoni keagamaan, perayaan Paskah menjadi landasan spiritual yang mendalam bagi umat Kristen.
Paskah bukan hanya soal ibadah di gereja, tetapi tentang makna hidup baru, kasih terhadap sesama, dan kepedulian terhadap lingkungan. Berikut nilai-nilai pentingnya.
Memulihkan martabat manusia dan ciptaan
“Pekan Suci yang dirayakan tahunan ini merupakan bagian integral dari masa prapaskah. Sebuah periode persiapan spiritual untuk merayakan kebangkitan Yesus Kristus yang diyakini memulihkan martabat seluruh ciptaan Allah termasuk manusia,” ujar Pormadi Simbolon, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Banten, dalam tulisannya di laman Kemenag pada Kamis, 17 April 2025.
Makna kebangkitan Kristus dalam Paskah memberi harapan bahwa dosa, penderitaan, dan kematian bukanlah akhir dari segalanya. Paskah bukan hanya berbicara soal keselamatan jiwa, tapi juga menyangkut pembaruan seluruh ciptaan.
Dalam konteks ini, umat diajak untuk melihat Paskah sebagai kesempatan memulihkan relasi yang rusak—baik secara spiritual dengan Tuhan, sosial dengan sesama, maupun ekologis dengan alam.
Bukan cuma doa, tapi juga aksi nyata
Pormadi menegaskan bahwa bentuk-bentuk penghayatan iman seperti doa, amal kasih, pantang, dan puasa selama masa prapaskah hendaknya berdampak secara riil. “Laku spiritual rutin tersebut dipandang perlu berdampak nyata baik bagi pribadi (kesalehan dan ketaqwaan) maupun sosial (kebaikan bersama dan alam),” tegasnya.
Ini berarti, jika seseorang rajin berdoa tapi acuh terhadap tetangganya yang kelaparan, atau tidak peduli dengan lingkungan yang rusak, maka makna Paskah belum sepenuhnya dihidupi. Menteri Agama Nasaruddin Umar pun menekankan hal serupa dengan gagasan “agama berdampak bagi manusia dan alam (ekoteologi).”
Contoh konkret dari semangat ini adalah gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) yang setiap tahun dilakukan di banyak gereja Katolik. Tahun ini, APP 2025 yang diselenggarakan Keuskupan Agung Jakarta mengangkat tema spiritualitas inkarnasi—yakni ajakan untuk hadir dan terlibat langsung dalam realitas sosial, termasuk penderitaan orang miskin dan krisis iklim.
Meneladani Yesus Kristus Lewat Rangkaian Ibadah Paskah
Rangkaian Pekan Suci menjadi sarana konkret bagi umat Kristen untuk meneladani Yesus, bukan sekadar mengenangnya. Dimulai dari Minggu Palma, yang memperingati masuknya Yesus ke Yerusalem, umat diajak merefleksikan bagaimana kemuliaan ilahi berpadu dengan penderitaan manusia.
Kamis Putih menjadi momentum penting saat Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Ini bukan hanya tindakan simbolik, tetapi pengajaran langsung tentang kerendahan hati dan pelayanan.
“Jikalau Aku Tuhan dan Gurumu membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kaki,” sabda Yesus yang dikutip Pormadi.
Jumat Agung menjadi titik kulminasi penderitaan Yesus. Salib, yang dahulu lambang hukuman, kini menjadi simbol kemenangan atas dosa dan maut. “Penghormatan Salib Kristus menjadi inti perayaan ini … untuk keselamatan manusia dan pembaruan seluruh ciptaan,” tulis Pormadi.
Sabtu Suci adalah saat kontemplasi mendalam akan kematian dan penantian akan harapan baru. Sedangkan Minggu Paskah menjadi perayaan kemenangan hidup atas kematian: sebuah penegasan bahwa hidup baru dalam Kristus tidak berhenti di altar gereja, melainkan harus diwujudkan di tengah masyarakat.
Menjawab Dua Krisis Besar Dunia: Dehumanisasi dan Krisis Lingkungan
Konteks Paskah hari ini tidak bisa dilepaskan dari situasi dunia yang “tidak baik-baik saja.” Seperti ditulis Pormadi, dua isu utama yang dihadapi manusia modern adalah dehumanisasi (krisis nilai kemanusiaan) dan krisis ekologi.
Perayaan Paskah menjawab keduanya. Ia bukan sekadar ibadah, tetapi mendorong perubahan perilaku sosial. Di banyak komunitas gerejawi, Paskah diisi dengan pembagian sembako, penggalangan dana THR untuk warga rentan, hingga kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan dan mencegah banjir.
Deklarasi Istiqlal yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal, KH Nasaruddin Umar, menjadi simbol penting kolaborasi lintas iman untuk menjawab dua krisis ini. Deklarasi itu menyerukan umat beragama untuk mengatasi krisis kemanusiaan dan menjaga bumi secara bersama.