
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, mengingatkan para pelaku usaha restoran dan kafe bahwa memutar lagu luar negeri juga dikenakan kewajiban membayar royalti. Hal tersebut, menurut Dharma, merupakan aturan dari Undang-Undang. Selain itu, LMKN maupun Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) telah menjalin kerja sama dengan mitra internasional terkait pembayaran royalti.
“Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional. Kita punya kerja sama dengan luar negeri dan kita juga membayar ke sana,” kata Dharma kepada Kompas.com via telepon, Senin (4/7/2025). Dharma menegaskan, membayar royalti tidak akan membuat usaha menjadi bangkrut.
Apalagi, tarif royalti di Indonesia tergolong sangat rendah dibandingkan dengan negara lain.
“Iya, intinya itu. Kenapa sih takut bayar royalti? Bayar royalti tidak akan membuat usaha bangkrut,” ujar Dharma. “Tarif royalti kita paling rendah di dunia. Jadi, bayar royalti itu artinya patuh hukum. Kalau mau berkelit, nanti kena hukum. Itu saja jawabannya,” lanjut Dharma. Dharma juga menyoroti adanya pelaku usaha yang mencoba mencari celah untuk menghindari kewajiban membayar royalti. “Jangan pakai ilmu berkelit untuk menghindari bayar royalti. Pakai musik sebanyak-banyaknya, tarif kita paling rendah,” tutur Dharma.
Ia menambahkan bahwa LMKN juga mempertimbangkan kondisi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam penetapan tarif. “Kami pun memperhitungkan UMKM, dan tidak menghitung tarif berdasarkan 365 hari penuh karena kami paham ada bulan puasa,” jelas Dharma.
Tarif royalti musik untuk restoran dan kafe diatur dalam SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu Kategori Restoran.
Berdasarkan aturan tersebut, pelaku usaha wajib membayar Royalti Pencipta sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun dan Royalti Hak Terkait sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun.