
Pembahasan mengenai royalti musik dan lagu masih ramai di tengah masyarakat saat ini. Pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu restoran di Bali diduga melanggar Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta karena menyiarkan lagu dan musik tanpa membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
LMKN adalah lembaga bantu pemerintah non-APBN yang dibentuk oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan UU Hak Cipta. LMKN diberikan kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi Pencipta dan pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik.
Lembaga yang berdiri pada 2014 lalu ini terdiri atas dua bagian. Yakni LMKN Pencipta dan LMKN pemilik Hak Terkait yang masing-masing dipimpin oleh komisioner independen dan bertanggung jawab kepada Menteri. Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan atau pemilik hak terkait melalui LMKN.
Bentuk layanan publik yang bersifat komersial meliputi, seminar dan konferensi komersial, restora, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam dan diskotik. Kemudian konser musik, pesawat udara, bus, kereta api dan kapal laut, pameran dan bazar, bioskop dan lain sebagainya.
Mengenai aspek penarikan royalti, Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/ Atau Musik menyebutkan, “LMKN melakukan penarikan Royalti dari Orang yang melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik bersifat komersial untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK”.
Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Selain melakukan penarikan Royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LMKN menarik Royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang belum menjadi anggota dari suatu LMK”.
Kemudian LMK merujuk pada institusi berbadan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait untuk mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Untuk memperoleh izin operasional, LMK bidang lagu dan/atau musik mengajukan permohonan secara elektronik atau nonelektronik kepada Direktur Jenderal, yang kemudian dilaporkan kepada Menteri.
LMK juga wajib menjalankan tugas sesuai kode etik, standar operasional prosedur, dan sistem yang ditetapkan oleh LMKN. LMK beroperasi berdasarkan kuasa dari para pemilik hak dan bertugas secara spesifik untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti kepada anggotanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keberadaan LMK memberikan manfaat dari sisi praktis, ekonomis, dan hukum. Dari segi praktis, pencipta atau pemegang hak cipta tidak mungkin hadir di banyak tempat sekaligus untuk menegakkan haknya. Hal yang sama berlaku bagi pemilik hak cipta asing yang ingin melaksanakan haknya di luar negara asal, yang tanpa LMK akan memerlukan biaya besar dan menghadapi tingkat kesulitan yang tinggi.
Dengan adanya LMKN dan LMK, pelaku ekonomi kreatif dapat lebih fokus pada proses kreatif. Sebab hak ekonomi mereka dikelola secara kolektif dan profesional, serta didukung oleh sistem perlindungan dan penegakan hukum yang jelas. Peran ini secara langsung memperkuat daya saing dan kontribusi sektor musik terhadap pertumbuhan ekonomi kreatif nasional.