
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) kini menghadapi kondisi finansial yang pelik. Meski jumlah penumpang sudah mencapai jutaan, pemasukan dari penjualan tiket nyatanya masih jauh dari memadai untuk menutup biaya yang membengkak.
Beban cicilan utang berikut bunga ke kreditur asal China, ditambah biaya operasional harian yang tinggi, membuat operator Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh mencatat kerugian hingga triliunan rupiah.
Masalah keuangan KCIC juga menyeret empat BUMN yang tergabung dalam konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Konsorsium ini merupakan pemegang saham mayoritas KCIC, dengan anggota PT Kereta Api Indonesia, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, serta PTPN.
Padahal, ketika pertama kali diumumkan, proyek KCJB digadang-gadang sebagai proyek murni business to business (B2B) tanpa campur tangan dana pemerintah.
Sebagian besar pendanaan kala itu memang berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB). Namun, karena biaya proyek membengkak, pemerintah akhirnya turun tangan.
Dana APBN disalurkan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) ke PT KAI, sementara jaminan pembayaran utang kepada pihak China juga diberikan oleh pemerintah Indonesia.
Beban utang dan bunga Whoosh
Pembayaran beban utang pokok plus bunga yang harus dibayarkan ke pihak China membuat keuangan PT KCIC mengap-mengap. Jangankan untuk menutup operasional dan cicilan utang pokok yang biayanya juga sangat besar, untuk membayar bunga saja tak bisa ditutup dari penjualan tiket.
Sebagai gambaran, sepanjang tahun 2024, KCIC sebagaimana dikutip dari laman resminya, Whoosh mencatatkan jumlah penumpang sebanyak 6,6 juta. Dengan asumsi harga tiketnya dipukul rata Rp 300.000, maka penjualan tiket yang didapatkan Rp 1,65 triliun. Sementara itu, proyek ini menghabiskan dana sebesar 7,27 miliar dollar AS. Nominal tersebut termasuk dengan pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS.
Dari total investasi tersebut, sekitar 75 persen dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB), dengan total utang mencapai 5,45 miliar dolar AS.
Bunga tahunan untuk utang pokok yang harus dibayar KCIC sebesar 2 persen, sementara bunga untuk pembengkakan biaya alias cost overrun mencapai 3,4 persen per tahun.
Dengan asumsi menggunakan bunga 2 persen saja (tanpa menggunakan bunga tambahan utang cost overrun 3,4 persen), dalam setahun maka beban bunga KCIC mencapai 109 juta dollar AS atau setara dengan Rp 1,77 triliun.
Konsorsium BUMN tekor Rp 4,19 triliun
Kendati PT KCIC tak pernah merilis laporan keuangannya secara terbuka ke publik, kondisi keuangan perusahaan ini membukukan kerugian sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari laporan keuangan PT KAI, selaku induk usaha dan salah satu pemegang saham terbesar.
KAI bersama dengan tiga BUMN lainnya harus menanggung renteng kerugian dari Whoosh sesuai porsi sahamnya di PT PSBI. Dalam laporan keuangan per 30 Juni 2025 (unaudited) yang dipublikasikan di situs resminya, entitas anak KAI, PT PSBI, mencatat rugi hingga Rp 4,195 triliun sepanjang 2024.
Kerugian itu masih berlanjut tahun ini. Hingga semester I-2025 atau periode Januari–Juli, PSBI sudah membukukan kerugian sebesar Rp 1,625 triliun. Sebagai pemimpin konsorsium, KAI memegang porsi saham terbesar di PSBI, yakni 58,53 persen, sesuai penugasan yang diberikan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Selain KAI, pemegang saham lain PSBI adalah Wika dengan kepemilikan 33,36 persen, Jasa Marga sebesar 7,08 persen, dan PTPN VIII sebesar 1,03 persen. Dengan porsi saham terbesar, KAI otomatis menanggung kerugian paling besar di PSBI.
Pada semester I-2025, KAI harus menanggung rugi sekitar Rp 951,48 miliar. Sementara pada tahun penuh 2024, saat PSBI membukukan kerugian Rp 4,19 triliun, KAI ikut menanggung beban hingga Rp 2,24 triliun.
Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan koordinasi dengan Badan Pengelola Investasi Daya Anggara Nusantara (BPI Danantara) terkait utang proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Pernyataan tersebut disampaikan Bobby sebagai tanggapan atas desakan anggota Komisi VI DPR RI yang meminta penjelasan terkait beban utang yang ditanggung PT KCIC. “Kami akan koordinasi dengan Danantara untuk masalah KCIC ini, terutama kami dalami juga.
Ini bom waktu,” ujar Bobby dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (20/8/2025).