Minggu, 12 Oktober 2025

Pakar Unud Jelaskan Pemicu Terjadinya Banjir Bali

Banjir Bali

 

Hujan yang semestinya berkah malah menjadi musibah jika manusia tidak bisa ‘menangkapnya’ dengan bijak. Itulah yang terjadi di Bali beberapa hari terakhir ini. Sejumlah daerah lumpuh saat air banjir menerjang. Kota Denpasar menjadi salah satu yang terparah karena lokasinya yang berada di bagian selatan (hilir). 

Bukan hanya kerugian materi, banjir Bali juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Kamis (11/9/2025), pukul 11.00 WIB, jumlah korban meninggal dalam bencana banjir di Provinsi Bali bertambah menjadi 14 orang, dan dua di antaranya masih hilang.

“Data sementara per Kamis, 11 September 2025, pukul 11.00 WIB, total korban meninggal dunia yang sudah ditemukan berjumlah 14 jiwa dan yang masih dalam pencarian sebanyak 2 warga,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari kepada wartawan, Kamis (11/9/2025).

Rincian korban meninggal, di Kota Denpasar sebanyak 8 orang, Kabupaten Jembrana 2 orang, Kabupaten Gianyar 3 orang, dan Kabupaten Badung 1 orang.

“Korban yang hilang sebanyak dua jiwa teridentifikasi di Kota Denpasar,” lanjutnya.

Sementara itu, sejumlah warga mengungsi di beberapa titik pos pengungsian. BPBD Provinsi Bali menginformasikan 562 warga mengungsi, dengan rincian 327 warga di Kabupaten Jembrana dan 235 warga di Kota Denpasar.

Fasilitas umum, seperti sekolah, balai desa, musala dan banjar dimanfaatkan sebagai pos pengungsian sementara.

Petugas gabungan masih melakukan upaya tanggap darurat seperti pencarian korban dan pengendalian banjir dan longsor yang berdampak kepada masyarakat.

“BNPB memberikan bantuan berupa selimut 200 lembar, matras 200 lembar, sembako 300 paket, tenda keluarga 50 unit dan tenda pengungsi 2 unit. Sedangkan untuk penanganan banjir, BNPB membantu perahu karet dan mesin 1 unit dan pompa air 3 unit,” tutur Abdul Muhari.

Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan banjir parah di Bali? Pengamat Tata Kota Universitas Udayana Putu Rumawan Salain, saat dihubungi Tim Media Kamis (11/9/2025) mengatakan, banjir saat ini bisa dibilang sebagai banjir yang terbesar dan terparah yang pernah terjadi di Bali, dengan memakan korban jiwa terbanyak dan hampir seluruh wilayah Bali mengalaminya.

“Ini sebagai dampak dari perencanaan, tapi semua itu kan tingkah polah manusia, yang melakukan kegiatan di atas bumi. Jadi ini adalah sebagai peringatan kepada kita untuk mencermati dan tunduk kepada tata ruang yang sudah dirancang,” katanya.

Alih Fungsi Lahan Gila-gilaan

Putu juga mengungkapkan banyak pelanggaran di pemerintahan soal alih fungsi lahan dan kepemilikanya, yang akhirnya menjadi salah satu pemicu banjir parah di Bali. Putu juga tidak memungkiri bahwa pariwisata Bali yang jadi trigger utama banyaknya perubahan fungsi dan pemanfaatan lahan di Bali.

Pariwisata secara langsung mendorong makin tingginya jumlah penduduk di Bali. Banyak orang mencari kerja di Bali di samping juga angka kelahiran yang tinggi. Sehingga Bali penduduk Bali saat ini sudah mencapai angka 4 juta lebih, dan di Denpasar sudah hampir 1 juta penduduk.

“Bayangkan di kota yang sekecil ini luasnya (Denpasar),” kata Rumawan.

Kepadatan penduduk itu, katanya, akan mendorong banyak orang untuk memanfaatkan lahan sekecil-kecilnya sebagai tempat tinggal. Pada akhirnya sempadan atau daerah-daerah di pinggir sungai ‘dirampok’ sehingga daerah aliran sungai menyempit. 

“Belum lagi akibat pendangkalan, pencurian lahan untuk bangunan dan lain-lain, itu menjadikan semakin susah penyaluran air dari penyaluran primer sampai ke tersier,” ungkap Rumawan.

Peralihan daerah sawah menjadi permukiman juga mengubah tata ruang kota sehingga saat terjadi hujan, airnya meluap, air kemudian mencari jalannya sendiri ke tempat yang rendah, seperti Denpasar.

“Di sisi selatan ini kan daerah dataran yang paling rendah, diserbu oleh hujan berbagai daerah di hulu, dari Tabanan, diserbu dari Gianyar,” katanya.

Putu Rumawan juga menjelaskan, sebenarnya dalam rencana tata kota dan tata ruang Provinsi Bali, yang sudah direvisi 2023, sudah diatur untuk tidak menambah slot pada titik-titik perkembangan pariwisata.

“Sekarang ini kan banyak sekali tumbuh bahkan membuat konflik di daerah-daerah masyarakat kan ada adat yang dibenturkan, ada politik yang terbenturkan, karena investor bawa uang itu berlindung di balik kekuasaan dan di balik adat, jadi kan yang konflik masyarakat,” kata Rumawan.

Dirinya mewanti-wanti pemerintah dalam hal ini harus tegas menegakkan peraturan yang ada, karena sekarang bukan hanya kerugian materi sebagai imbasnya, tapi juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Menurut Rumawan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah agar banjir parah setidaknya tidak terulang untuk kedua kalinya, yakni pertama, penegakan aturan tata ruang dan tata kota.

Kedua, di dalam pengurusan izin-izin pembangunan harus tegas. Garis sempadan bangunan samping, belakang, depan, itu harus dipenuhi. Lahan di Bali yang sudah sempit ini karena pembangunan pariwisata, sangat susah dicari lahan yang bisa menyerap air, kalau pun ada presentasenya tidak banyak. 

“Banyak lahan sudah ditutup sama beton paving, atau batu sikat bumi tidak meresap air lagi jadi tidak ada kemampuan bumi tidak pernah napas dan tidak minum seolah-olah begitu dan ketika dia tidak kuat dia melempa semua yang dia muntahkan,” kata Rumawan.

Jangan Salahkan Hujan

Rumawan menegaskan, hujan tidak perlu disalahkan dan dicap sebagai pemicu banjir besar. Yang diperlukan saat ini adalah kejernihan berpikir untuk mencegah dan menanggulangi jika sewaktu-waktu hujan turun dengan deras. 

“Mungkin turis juga tidak mau datang, kalau kita saja tidak bisa mencegah dan menanggulangi banjir,” katanya.

Tak jauh berbeda dengan pandangan Putu Rumawan, Direktur Walhi Bali Made Krisna Dinata saat dihubungi Tim media, Kamis (11/9/2025) mengatakan, degradasi lingkungan yang ditandai dengan alih fungsi lahan, khususnya lahan pertanian diubah menjadi bangunan, merupakan pemicu awal dari rentannya Bali terhadap bencana hari ini.

“Terkait penurunan atau perubahan lahan sawah, kami coba mengcapture pada wilayah empat kabupaten di Bali, yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan atau yang dikenal sebagai kawasan Sarbagita,” katanya.

Pertumbuhan Lahan Terbangun

Dari rentang waktu 2018 hingga 2023, perkembangan wilayah dan pertumbuhan lahan terbangun menjadi salah satu penyebab berkurangnya luasan lahan pertanian khususnya sawah di wilayah Metropolitan Sarbagita.

Persentase penyusutan lahan sawah berkisar antara 3-6% dari luas wilayah masing-masing kabupaten/kota. Kota Denpasar mengalami penurunan lahan sawah sebanyak 784,67 Ha atau 6,23% dari luas wilayah.

Luasan sawah di Kabupaten Badung berkurang sebanyak 1099,67 Ha dan Kabupaten Gianyar berkurang 1276,97 Ha. Penyusutan lahan sawah terbesar berada di Kabupaten Tabanan yaitu seluas 2676,61 Ha. Konsekuensi dari perkembangan wilayah mengakibatkan kebutuhan lahan dan memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian.

Hilangnya lahan pertanian tentu juga akan menghilangkan fungsi dari Subak (Sistem Irigasi Tradisional Bali) terutama dalam fungsinya pada sistem hidrologis alami. Subak memiliki fungsi sebagai saluran irigasi dan mendistribusi air yang turut menjaga dan mengatur sistem hidrologis air. Bahkan menurut Prof Windia (Pakar Subak) setiap 1 Hektar Sawah mampu menampung 3000 ton air apabila tinggi airnya 7 cm.

“Apabila lahan pertanian dan Subak makin banyak berubah atau beralih fungsi menjadi bangunan, tentu hal tersebut akan mengganggu sistem hidrologis air alami yang ada, air menjadi tidak tertampung dan teririgasi dengan baik, sehingga timbulah banjir seperti yang kita lihat ini,” ungkap Krisna.

Rencana Pembangunan Melabrak Tata Ruang

Krisna juga tak bisa bohong, penerapan tata ruang di Bali sangat buruk. Banyak kasus rencana pembangunan yang acapkali melabrak tata ruang, semisal pembangunan akomodasi pariwisata yang mengalih fungsikan lahan sawah dan Perkebunan menjadi bangungan, atau pembangunan yang melabrak sempadan Pantai dan Sempadan Sungai, bahkan pembangunan yang dilakukan di kawasan rawan bencana.

“Hal ini tentu akan menjadi suatu kombinasi yang sangat krusial yang menghantarkan Bali pada situasi kerentanan terhadap bencana. Salah satunya Banjir,” katanya.

Krisna hanya bisa berharap, ada upaya nyata dari Pemda dalam memitigasi potensi ancaman bencana di kemudian hari, salah satunya denga menghentikan segala bentuk pembangunan yang berpotensi menyebabkan alih fungsi lahan.

“Penghentian atau Moratorium Pembangunan akomodasi pariwisata yang massif di kawasan sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) semestinya menjadi Langkah yang harus dilakukan<‘ katanya.

Pemda dan pihak terkait juga harus bisa melakukan penegakan aturan tata ruang terhadap setiap pembangunan yang melabrak Sempadan Pantai dan Sempadan Sungai, begitupun dengan proyek yang mengancam kerusakan hutan dan pesisir di Bali.

Melakukan pemulihan dan tindakan nyata di berbagai titik atau lahan kritis di Hulu Bali, serta menghentikan ambisius pembangunan mega proyek yang mengorbankan lahan pertanian seperti rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi, Pengembangan kawasan Pelabuhan Sangsit serta pembangunan akomodasi Pariwisata yang amat massif dilakukan baik di Kota Denpasar dan Badung khususnya.

“Yang paling urgent sekarang tentu meninjau ulang dan memperhatikan bagaimana status drainase serta DAS Badung yang dikatakan menjadi faktor krusial penyebab banjir, selain tentunya memulihkan seluruh korban terdampak. Begitu juga, hal ini mesti dibarengi dengan memprioritaskan tata kelola lingkungan hidup yang berasaskan perlindungan dan pemulihan,” katanya.

Berita Terkait