
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) memicu penolakan dari berbagai kalangan pelaku usaha di Jakarta.
Mulai dari pedagang kecil hingga pengusaha hotel menilai aturan tersebut berpotensi mengganggu aktivitas usaha dan menekan perekonomian daerah. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta menyebut, jika Raperda KTR disahkan, sekitar 50 persen bisnis hotel di Ibu Kota berpotensi terdampak.
Anggota Badan Pengurus Daerah (BPD) PHRI Jakarta, Arini Yulianti, mengatakan proyeksi tersebut berdasarkan survei internal terhadap pelaku usaha hotel. “Studi pendapat apabila aturan lama diperbaharui dengan aturan Raperda KTR yang lebih ketat, 50 persen dari pelaku usaha menilai peraturan ini akan berdampak pada bisnis,” ujar Arini dalam keterangan resminya, Senin (29/9/2025).
Arini khawatir, aturan baru ini dapat menurunkan jumlah tamu hotel dan restoran, bahkan berisiko membuat konsumen beralih ke kota lain yang peraturannya lebih longgar.
Berdasarkan survei PHRI pada April 2025, sebanyak 96,7 persen hotel di Jakarta sudah mengalami penurunan tingkat hunian. Banyak hotel terpaksa mengurangi karyawan demi efisiensi. Padahal, sektor hotel dan restoran di Jakarta mempekerjakan lebih dari 603.000 orang dan menyumbang sekitar 13 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Sebenarnya yang dibutuhkan adalah kebijakan KTR yang berimbang.
Jangan sampai aturan ini dikebut demi sekadar mengejar indikator kota global tanpa mempertimbangkan dampaknya,” tegas Arini.
Waktunya dinilai tidak tepat
Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anggana Bunawan, menilai penerapan Raperda KTR dilakukan di waktu yang tidak tepat. Menurut dia, dunia usaha masih tertekan oleh kondisi ekonomi yang lesu. “Kami berharap pemerintah tetap memperhatikan industri.
Ini timing-nya tidak tepat, kondisi sosio ekonomi masyarakat juga harus dipertimbangkan,” ujar Anggana. Penolakan juga datang dari pedagang kecil. Sejumlah organisasi pedagang di DKI Jakarta menandatangani deklarasi bersama menolak Raperda KTR pada Senin (29/9/2025).
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), Ali Mahsun, menilai aturan ini merugikan rakyat kecil. “Peraturan ini jelas berpengaruh terhadap pendapatan rakyat kecil yang selama ini jadi tulang punggung perekonomian lokal,” kata Ali.
Deklarasi penolakan diikuti APKLI, Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara), Warteg Merah Putih (Kowarmart), Paguyuban Pedagang Warteg, dan Pandawakarta.
Beberapa poin yang dipersoalkan dalam Raperda, antara lain:
- Larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak.
- Perluasan kawasan tanpa rokok ke pasar tradisional dan modern.
- Larangan penjualan rokok eceran.
- Kewajiban izin khusus untuk berjualan rokok.
Ali menegaskan pedagang masih berharap perlindungan dari Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang pernah berjanji memberikan ruang usaha bagi rakyat kecil. Ia juga meminta Presiden Prabowo Subianto memastikan kebijakan daerah tidak bertentangan dengan arah pembangunan ekonomi kerakyatan.
Ia juga meminta Presiden Prabowo Subianto memastikan kebijakan daerah tidak bertentangan dengan arah pembangunan ekonomi kerakyatan.
“Kami juga memohon perlindungan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk menjamin bahwa kebijakan daerah tidak bertentangan dengan semangat kepemimpinan Presiden yang berpihak pada pelaku ekonomi rakyat kecil,” ucap Ali. Ketua Kowantara, Mukroni, menambahkan, larangan merokok di warung makan seperti warteg bisa berdampak signifikan terhadap omzet.
“Berdasarkan data internal Kowantara, sekitar 25 ribu dari total 50 ribu warteg di Jabodetabek sudah tutup pasca pandemi COVID-19,” kata Mukroni.
Tanggapan Pemprov DKI
Menanggapi polemik ini, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan Raperda KTR tidak boleh mengorbankan UMKM. Ia menjelaskan, aturan tersebut mengatur lokasi, misalnya larangan merokok berlaku di tempat karaoke, tetapi pedagang yang berjualan di sekitar lokasi tidak boleh dilarang.
Ia menekankan, fokus aturan adalah penataan ruang, bukan melarang pedagang berjualan. Untuk itu, setiap fasilitas umum diwajibkan menyediakan ruang merokok yang terpisah dari area utama kegiatan agar tidak mengganggu pengunjung lain.
“Semua fasilitas yang memperbolehkan atau mengadakan acara harus menyiapkan tempat untuk merokok secara tertutup, supaya tidak mengganggu yang lainnya,” lanjut dia.
Pramono menilai penerapan KTR harus berjalan seimbang. Dengan adanya ruang khusus merokok di tempat hiburan, masyarakat yang merokok tetap difasilitasi, sementara pengunjung lain terlindungi dari paparan asap.
Sementara itu, Wakil Ketua Pansus KTR DPRD DKI Jakarta, Abdurrahman Suhaimi, menegaskan Raperda KTR tidak akan merugikan sektor ekonomi, termasuk pengusaha rokok dan pengelola gedung.
“Selama belum ketok palu, masukan dari masyarakat tetap terbuka. Rapat dengar pendapat dengan berbagai stakeholder juga sudah digelar,” ujar Suhaimi dalam keterangan tertulis, Kamis (31/7/2025). Saat ini DPRD bersama Pemprov DKI masih membahas Raperda KTR yang akan mengatur kawasan bebas rokok di berbagai fasilitas publik, mulai dari perkantoran, sekolah, rumah sakit, hingga pusat hiburan. Regulasi ini dijadwalkan rampung pada akhir September 2025.