
Gitaris Gigi, Dewa Budjana, ikut angkat suara terkait perdebatan mengenai identitas festival musik Prambanan Jazz yang belakangan dikritik karena dinilai kurang menampilkan musisi jazz.
Polemik ini mencuat setelah musisi senior Indra Lesmana mengkritik festival yang mengusung nama jazz, namun tidak memberikan ruang cukup bagi musisi jazz. Kritik tersebut tidak menyebut nama festival secara langsung, namun promotor Prambanan Jazz, Anas Alimi, merasa perlu memberikan tanggapan.
Anas menilai festival musik tetap membutuhkan deretan nama populer agar tetap bertahan secara komersial. Ia bahkan membandingkan dengan sejumlah festival jazz internasional di Amerika Serikat yang juga menghadirkan musisi non-jazz.
Melihat polemik yang semakin ramai diperbincangkan publik, Budjana mencoba menjembatani dua kubu. Dalam unggahan di media sosial, gitaris 61 tahun itu menyarankan agar Prambanan Jazz tetap memberikan ruang bagi musisi jazz, di samping menghadirkan musisi populer untuk menarik massa.
“Saya sebelumnya belum pernah menulis (opini di media sosial), karena tidak senang menulis. Kalau ada sesuatu, saya lebih senang ngobrol langsung dengan orangnya,” ujar Budjana saat menghadiri media gathering BRI Jazz Gunung Series 2 di kawasan Bromo, Probolinggo, Sabtu kemarin.
Menurut Budjana, pernyataan Indra Lesmana tidak salah, apalagi mengingat posisi Indra sebagai ikon jazz Indonesia. Namun ia menyayangkan bahwa diskusi itu berlangsung terbuka di media sosial, bukan secara langsung antara pihak-pihak yang sebenarnya bersahabat.
“Mas Indra sebagai ikon jazz ya wajar mengeluarkan pendapat. Tapi kalau menurut saya, lebih baik ngobrol langsung, karena Indra dan Anas itu kan bersahabat. Kalau diomongin di media, komentar orang jadi makin ramai, makin semrawut,” ujarnya.
Budjana juga tidak memungkiri bahwa Prambanan Jazz terlalu banyak menampilkan musisi non-jazz. Bahkan grupnya sendiri, Gigi, menurut dia, tidak bisa dikategorikan sebagai grup jazz.
“Memang benar, hampir semua pengisi acara bukan jazz. Bahkan Gigi juga bukan jazz,” katanya.
Meski begitu, ia mengaku memahami dilema yang dihadapi promotor dalam merancang festival musik.
“Saya juga ngerti sebagai promotor itu enggak gampang. Tapi gimana caranya biar tetap ada jazz-nya. Kalau sama sekali enggak ada, jadi kayak diselewengkan namanya,” tegas Budjana.