Jumat, 8 Agustus 2025

1 juta Pengangguran di Indonesia, DPR: Ini Bukan Sekadar Angka Statistik, Ini Kegagalan Sistemik

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Nurhadi

 

Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi mengaku miris ada jutaan masyarakat berpendidikan tinggi yang menganggur di saat Indonesia menuju puncak bonus demografi pada 2030-2045. Menurutnya, masih adanya jutaan pemuda yang “nganggur” merupakan sebuah ironi di tengah bonus demografi.

Pernyataan itu dilontarkan Nurhadi sekaligus merespons rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan sebanyak 1,01 juta pengangguran di Indonesia merupakan lulusan universitas alias sarjana.

“Lebih dari 1 juta sarjana menganggur? Ini ironi besar di tengah bonus demografi yang katanya menjadi peluang untuk Indonesia Emas,” kata Nurhadi lewat keterangan tertulis, Sabtu (5/7/2025).

Nurhadi menyayangkan alokasi dana triliunan rupiah untuk pendidikan tinggi tidak menjamin terciptanya angkatan kerja yang mumpuni. Padahal, pemerintah telah mengalokasikan Rp4,7 triliun untuk investasi dan peningkatan sarana prasarana di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akademik, termasuk peralatan praktik, laboratorium, dan fasilitas pelatihan. 

Secara keseluruhan, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp76,4 triliun untuk sektor pendidikan dari APBN 2025. Menurut Nurhadi, pemerintah gagal menyelaraskan lulusan berpendidikan dengan kesiapan dunia kerja.  

“Kita sedang menghadapi situasi absurd. Negara mengeluarkan triliunan rupiah untuk pendidikan tinggi, tapi hasilnya justru ‘parkir’ jadi pengangguran,” tuturnya.

“Ini bukan sekadar angka statistik, ini kegagalan sistemik! Mau sampai kapan bangsa ini pura-pura tidak tahu kalau link and match pendidikan dengan dunia kerja itu macet total?” imbuhnya.

Selain itu, kata Nurhadi, penetapan upah bagi lulusan sarjana yang tak jauh berbeda dengan lulusan SMA sama saja dengan merampok hak warga negara yang ingin mendapatkan penghidupan layak dengan kualitas hidup lebih baik. Alih-alih efisiensi, kata Nurhadi, hal tersebut justru merampas martabat intelektual lulusan sarjana. 

“Kalau lulusan S1 dipaksa kerja dengan upah setara lulusan SMA, itu bukan efisiensi, itu perampasan martabat intelektual,” ujarnya.

“Banyak sarjana menolak kerja bukan karena mereka malas, tapi karena sistem dunia kerja kita melecehkan kompetensi,” imbuhnya.

Nurhadi menekankan gaji yang tidak layak, posisi yang tidak sesuai latar belakang akademik, dan orientasi perusahaan yang hanya mau tenaga murah sama saja merebut hak dasar warga negara. “Untuk itu, negara harus hadir, jangan hanya jadi penonton pasar yang kejam,” tegasnya. 

Menurutnya, jangan salahkan lulusan sarjana jika enggan bekerja di daerah lantaran kurangnya aspek-aspek penghidupan yang layak di tengah arus globalisasi. Sebab itu bukan salah mereka, tapi negara yang membiarkan ketimpangan terus berlanjut setiap tahunnya. 

“Kalau daerah tak manusiawi buat hidup, jangan salahkan anak muda yang enggan tinggal di sana. Pemerintah jangan cuma nyuruh pindah ke desa, tapi fasilitas hidup di desa tidak dapat menjangkau kebutuhan mereka,” ujarnya. 

“Akses internet, layanan kesehatan, tempat tinggal, transportasi, itu semua tanggung jawab negara,” sambungnya.

Nurhadi menilai, produktivitas SDM saat ini tidak dibarengi dengan penyiapan lapangan pekerjaan. Sehingga, ketika bangsa Indonesia sedang panen sarjana, tapi ladangnya kosong.

“Seharusnya pemerintah sudah mempersiapkan sejak jauh hari demi memberdayakan SDM-SDM muda Tanah Air,” ujarnya.

Kendati demikkan, ia mendorong transformasi ketenagakerjaan yang bukan hanya menyerap jumlah, namun juga tepat guna. Nurhadi mengingatkan pemerintah untuk tidak membiarkan anak-anak muda berpendidikan tinggi terseret arus fenomena ’kerja apa saja’, hanya karena sistemnya tak adil dan negara gagal mengatur lapangan kerja berbasis kompetensi. 

“Kami tak akan diam melihat angka 1 juta sarjana menganggur. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, ini bom sosial, ini bentuk pengabaian terhadap generasi emas bangsa,” tuturnya.

“Pemerintah harus serius membuat reformasi pendidikan vokasional, penyerapan tenaga kerja berbasis digital dan industri masa depan,“ pungkasnya.

Berita Terkait