
Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengungkapkan bahwa mayoritas santri di Indonesia berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi sulit.
“Kami mensinyalir 80 persen santri yang mengikuti pendidikan di pesantren adalah berasal dari keluarga desil 1 maksimal desil 2,” kata Cak Imin di kantornya, di Jakarta.
Dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), desil merupakan pengelompokan tingkat kesejahteraan rumah tangga. Desil 1 adalah golongan dengan kesejahteraan terendah dan desil 10 adalah golongan dengan kesejahteraan tertinggi. Dia mengatakan bahwa saat ini, tidak semua pesantren maju; ada juga pesantren yang memiliki keterbatasan.
“Kita memahami sepenuhnya bahwa pesantren memiliki amat sangat keterbatasan. Di samping pesantren-pesantren yang maju, masih banyak pesantren yang amat sangat jauh dari kemajuan dan masih dalam ketertinggalan,” ujar Cak Imin.
Menurut Cak Imin, pesantren tumbuh dan berkembang karena biaya pendidikannya yang relatif murah, bahkan banyak yang gratis, sehingga menjadi pilihan utama bagi keluarga kurang mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya.
“Karena pembiayaan yang murah, bahkan gratis di pesantren, kemudian tumbuh, berkembang, dan laku. Selain itu juga mendapatkan kepercayaan total dari masyarakat untuk menitipkan anak didik mereka,” ucapnya.
Namun, di balik kepercayaan besar itu, pesantren menghadapi banyak tantangan, terutama terkait keterbatasan fasilitas dan infrastruktur.
“Pesantren mengalami berbagai tantangan bahkan berbagai kesulitan yang tidak mudah. Keunikan pesantren salah satunya adalah selain mandiri, bahkan banyak yang tidak pernah menerima bantuan pemerintah. Ada juga yang memang secara prinsip tidak mau dibantu,” jelasnya.