
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Beleid itu di antaranya mengatur kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.
Permohonan uji materi tersebut terdaftar dengan nomor perkara 11/PUU-XXIII/2025. Ini diajukan oleh nelayan Asmania, mahasiswa Fauzan Hakami dan Muhamad Agus Salim, karyawan swasta sekaligus penyandang disabilitas fisik Risnawati Utami, pedagang warung Rusin, pengemudi ojek online Warsiti Hajar, dan Yayasan Indonesia Mental Health Association. Sebanyak 33 orang merupakan penasihat hukum pemohon, yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP).
“Menolak permohonan para pemohon nomor 11/PUU-XXIII/2025, baik dalam provisi maupun pokok permohonan,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo saat membacakan amar putusan pada Kamis, 14 Agustus 2025 di Jakarta Pusat.
Hakim konstitusi Ridwan Mansyur membacakan pertimbangan hukum. Salah satunya, kata dia, para pemohon mempersoalkan penentuan kenaikan pajak pertambahan nilai sebesar 12 persen sebagaimana norma Pasal 7 ayat (1) huruf b dalam Pasal 4 angka 2 UU HPP. “Menurut para pemohon, menimbulkan ketidakkonsistenan antarperaturan,” ujar Ridwan dalam persidangan.
Dia menjelaskan, undang-undang tersebut menentukan tarif PPN sebesar 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022, serta 12 persen yang berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Ini merupakan perubahan atas pengaturan tarif pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen yang belum diubah sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983. Perubahan demikian, lanjut dia, perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan negara.
Berdasarkan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945, perubahan tarif pajak, termasuk PPN, dapat dilakukan sepanjang ditentukan dengan undang-undang. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang telah menyepakati tarif PPN 11 persen yang berlaku pada 1 April 2022, serta 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. “Bersamaan dengan pemberlakuan perubahan tarif PPN tersebut, pemerintah memberlakukan pula insentif agar mengurangi beban bagi masyarakat,” ujar Ridwan.
Dia lalu menyoroti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah (PMK 131/2024). Beleid itu, kata Ridwan, mengatur Dasar Pengenaan Pajak atau DPP Nilai Lain untuk menjaga beban PPN secara efektif. Sehingga tarif pajak pertambahan nilai tetap sama dengan ketika konsumen dibebani tarif PPN 11 persen. “PMK 131/2024 tersebut tidak merevisi atau mengatur tarif, sebagaimana yang telah ditetapkan UU 7/2021 sebesar 12 persen, melainkan hanya untuk mengatur DPP nilai lain,” ujar Ridwan.
Dia menyebut, hal itu merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Menteri Keuangan. Oleh karena itu, kata Ridwan, dalil pemohon yang menyatakan ada pertentangan antara UU HPP ihwal tarif PPN 12 persen berlaku 1 Januari 2025 dengan PMK 131/2024 adalah tidak benar. “Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, kekhawatiran para pemohon yang mendalilkan adanya inkonsistensi antarperaturan adalah dalil yang tidak berdasar, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum,” ujar Ridwan Mansyur.