Jumat, 8 Agustus 2025

PBB: Kondisi Ekonomi Indonesia Bisa Picu ‘Krisis Fertilitas’

Pertumbuhan bayi adalah salah satu indikator utama kesehatan dan perkembangan mereka

 

Jutaan orang di seluruh dunia ingin memiliki anak, namun tidak mampu membangun keluarga sesuai harapan mereka karena terkendala masalah ekonomi, sosial, dan ketimpangan gender. Temuan ini disampaikan dalam laporan tahunan Situasi Kependudukan Dunia (State of World Population/SWP) 2025 yang dirilis Data Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) pada Kamis (3/7).

Laporan bertajuk “Krisis fertilitas sesungguhnya: membangun kekuatan individu untuk mengambil keputusan reproduksi di dunia yang terus berubah” ini menyebut bahwa satu dari lima orang secara global memperkirakan tidak akan mampu memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Faktor-faktor seperti tingginya biaya membesarkan anak, ketidakamanan pekerjaan, keterbatasan akses perumahan, hingga kekhawatiran terhadap situasi dunia menjadi hambatan utama.

“Krisis fertilitas sesungguhnya bukan karena orang tidak ingin punya anak, tapi karena banyak yang tidak mampu secara ekonomi dan sosial,” ujar Hassan Mohtashami, Perwakilan UNFPA Indonesia dalam konferensi pers peluncuran laporan di Jakarta, Kamis (3/7/2025). 

“Di Indonesia, lebih dari 70 persen orang ingin punya dua anak atau lebih. Maka, solusi yang dibutuhkan bukanlah target kesuburan, melainkan dukungan nyata seperti cuti melahirkan, layanan fertilitas terjangkau, dan lingkungan yang inklusif,” katanya menambahkan.

Data UNFPA/YouGov yang dikumpulkan dari 14 negara—termasuk Indonesia—menunjukkan bahwa 17 persen warga Indonesia memperkirakan akan memiliki lebih sedikit anak dari keinginan mereka. Mayoritas responden menyebutkan faktor ekonomi, seperti keterbatasan finansial (39 persen), keterbatasan perumahan (22 persen), dan ketidakamanan kerja (20 persen) sebagai penghalang utama.

Sementara itu, Deputi Pengendalian Kependudukan di Kemendukbangga/BKKBN, Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto, menekankan bahwa pemerintah telah menyiapkan Desain Besar Pembangunan Kependudukan (DBPK) untuk 20 tahun ke depan, termasuk program-program strategis seperti Taman Asuh Sayang Anak dalam rangka meningkatkan kualitas keluarga.

 

photo

Data penurunan tingkat fertilitas total di Indonesia. – (BPS)

“Laporan SWP menjadi input dari kebijakan kependudukan. Pemerintah juga sudah memiliki strategi dan program dalam mengoptimalkan layanan KB, kesehatan ibu dan anak, angkatan kerja perempuan, serta kesejahteraan keluarga seperti Quick Wins Kemendukbangga yang di antaranya ada Taman Asuh Sayang Anak,” katanya.

Laporan tersebut juga menyimpulkan bahwa hampir 20 persen orang, di bawah usia 50 tahun, memperkirakan tidak akan mencapai jumlah keluarga yang mereka inginkan. Selain itu, lebih dari 40 persen orang yang berusia di atas 50 tahun tidak memiliki jumlah anak yang mereka inginkan.

Di Indonesia, 40 persen memiliki lebih sedikit anak dari yang ideal, 8 persen memiliki lebih banyak dan 38 persen mencapai jumlah ideal. Keterbatasan finansial adalah alasan utama orang tidak memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Di Indonesia, tiga alasan alasan teratas tak memiliki jumlah anak yang ideal adalah alasan keterbatasan finansial (39 persen), keterbatasan perumahan (22 persen), dan ketidakamanan pekerjaan/pengangguran (20 persen).

Satu dari lima responden mengatakan ketakutan akan masa depan (termasuk perang, pandemi, politik, dan perubahan iklim) akan menyebabkan mereka memiliki lebih sedikit anak daripada yang mereka inginkan. Di Indonesia, 14 persen responden menyebutkan kekhawatiran tentang situasi politik atau sosial dan 9 persen menyebutkan perubahan iklim sebagai hambatan untuk memiliki anak.

Sedangkan satu dari tiga responden mengatakan bahwa mereka atau pasangannya pernah mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Indonesia memiliki persentase responden terendah yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, yaitu kurang dari 20 persen. Satu dari empat responden pernah mengalami masa ketika mereka ingin memiliki anak tetapi merasa tidak mampu.

Indonesia berada di peringkat lima teratas di antara 14 negara yang respondennya mengatakan bahwa mereka merasa tidak mampu untuk memiliki anak pada waktu yang mereka inginkan, yaitu lebih dari 20 persen.

Meskipun Indonesia memiliki angka kehamilan yang tidak direncanakan terendah dari negara-negara lainnya, permasalahan ketidakmampuan untuk memiliki anak di saat yang diinginkan tetap menjadi tantangan. Sebanyak 14 persen mengatakan mereka tidak akan memiliki jumlah anak yang mereka inginkan karena mereka tidak memiliki pasangan atau tidak memiliki pasangan yang cocok. Sedangkan 18 persen pernah mengalami situasi di mana mereka tidak dapat mengakses layanan medis atau kesehatan yang terkait dengan kontrasepsi atau prokreasi.

Pakar keluarga Dr Yulina Eva Riany, mengiyakan keputusan menunda anak atau bahkan tidak memiliki anak banyak didorong oleh alasan rasional seperti ketidakstabilan ekonomi hingga minimnya dukungan terhadap keluarga dari pemerintah.

“Banyak yang masih memberi stigma negatif pada pasangan yang menunda atau memilih tidak punya anak. Padahal, alasan mereka umumnya sangat realistis seperti kondisi ekonomi yang sulit, pekerjaan yang tidak pasti, dan minimnya dukungan terhadap keluarga baru dari pemerintah,” kata Yulina saat dihubungi Republika, Jumat (4/7/2025).

Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak IPB University tersebut juga mengungkapkan bahwa generasi Z adalah generasi yang kritis dan cenderung tidak ingin menjalani hidup berdasarkan tekanan sosial. Salah satu contohnya, banyak dari mereka yang memilih menggelar pernikahan sederhana karena menyadari pentingnya pengelolaan keuangan untuk masa depan.

“Generasi Z itu cerdas, mereka cenderung berpikir realistis, makanya banyak yang menikah di KUA, tidak ada seremonial besar-besaran. Karena mereka sadar bahwa kehidupan yang dijalani setelah pernikahan jauh lebih penting. Prinsip yang sama mereka terapkan pada keputusan menunda punya anak,” jelas dia.

Yulina menambahkan, banyak juga dari mereka bukan menolak ide memiliki anak, tetapi memilih menunggu hingga kondisi finansial dan psikologis benar-benar stabil. Generasi Z sadar bahwa membesarkan anak memerlukan biaya besar, mulai dari kebutuhan dasar bayi hingga biaya persalinan yang cukup mahal.

“Saya suka tuh melihat video-video dari generasi Z di medsos yang bilang punya anak itu enggak murah. Mereka tuh bahkan kalkulasiin biaya kehamilan, lahiran sampai membesarkan anak, memang biayanya tinggi. Dan faktanya memang tidak murah,” kata Yulina.

Tidak hanya masalah ekonomi, meningkatnya keinginan perempuan untuk aktif di ranah publik juga menjadi salah satu alasan generasi muda menunda kehamilan atau bahkan childfree. Terlebih saat ini, infrastruktur dan kebijakan yang mendukung ibu bekerja masih terbatas.

“Fasilitas childcare yang terlisensi masih terbatas, cuti melahirkan yang pendek, serta kurangnya perlindungan dan insentif bagi ibu bekerja menjadi pertimbangan tersendiri. Jadi wajar jika banyak perempuan memilih menunda memiliki anak atau fokus dulu pada karier,” ungkap Yuli.

Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat dan pemerintah untuk tidak serta-merta memberikan stigma negatif terhadap pilihan ini. Menurutnya, pemerintah juga perlu memahami alasan di balik keputusan tersebut dan mulai mencari solusi jangka panjang.

“Daripada menyalahkan generasi muda karena dianggap hanya ikut-ikutan tren, sebaiknya kita kaji dulu akar permasalahannya. Pemerintah juga harus hadir dengan kebijakan dan dukungan konkret agar pasangan muda merasa aman dan siap membangun keluarga,” kata dia.

Berita Terkait