Minggu, 12 Oktober 2025

Presiden Macron di Ujung Tanduk

Presiden Perancis Emmanuel Macron

 

Krisis politik di Prancis memasuki babak paling genting. Dalam kurun waktu kurang dari setahun, pemerintahan Presiden Emmanuel Macron telah empat kali berganti Perdana Menteri, menandakan ketidakstabilan politik paling serius dalam dua dekade terakhir.

Perdana menteri terbaru, Sebastian Lecornu, resmi mengundurkan diri pada Senin (6/10/2025), bahkan sebelum genap sebulan menjabat. Keputusan ini menambah daftar panjang kegagalan Macron menjaga soliditas pemerintahannya setelah tiga pendahulunya juga tumbang dalam waktu singkat.

Empat Kali Ganti Pemerintah, Rekor Buruk Macron

Sebelum Lecornu, posisi perdana menteri telah diisi oleh Francois Bayrou, Gabriel Attal, dan Elisabeth Borne, semuanya mundur dengan alasan yang hampir sama: konflik internal, lemahnya dukungan parlemen, dan tekanan publik yang meningkat.

Istana Elysee mengonfirmasi bahwa Macron telah menerima pengunduran diri Lecornu dan segera memulai konsultasi politik untuk menunjuk pengganti baru. Namun, langkah itu dinilai tidak lagi menyentuh akar persoalan, yaitu krisis kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Macron.

“Empat kali pembubaran kabinet dalam satu tahun menandakan bukan masalah teknis, tapi krisis politik yang sistemik,” ujar analis politik Universitas Sciences Po, Philippe Marlière, dikutip Le Monde.

Ironisnya, pengunduran diri Lecornu terjadi hanya sehari setelah ia mengumumkan bahwa kabinet barunya hampir lengkap. Namun, komposisi yang ditawarkan dinilai copy-paste dari pemerintahan sebelumnya. Partai oposisi menuding Macron tidak serius melakukan reformasi politik.

AS dan Dunia Ikut Memantau

Krisis di jantung politik Eropa ini juga menarik perhatian Amerika Serikat. Gedung Putih menyatakan sedang memantau dengan ketat perkembangan politik di Paris.

“Kami sangat memahami situasi ini, namun tidak akan mengomentari politik dalam negeri Prancis,” kata Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, seperti dikutip dari Sputnik, Selasa (7/10/2025).

Meski bersikap hati-hati, pengamat menilai perhatian Washington menunjukkan kekhawatiran terhadap stabilitas sekutu utamanya di Eropa Barat, terutama di tengah meningkatnya ketegangan global dan konflik Ukraina-Rusia.

Krisis Kepercayaan yang Dalam

Di dalam negeri, Macron menghadapi kejatuhan popularitas drastis. Survei terbaru menunjukkan lebih dari 60 persen warga Prancis tidak lagi percaya pada kemampuannya memimpin. Aksi demonstrasi yang marak sejak awal tahun memperburuk citra pemerintah.

“Macron kini tampak sendirian di menara kekuasaannya,” tulis editorial Le Figaro. 

“Partainya terpecah, parlemen tidak solid, dan rakyat kehilangan arah.”

Para analis menilai akar dari krisis ini bukan sekadar perselisihan antarpartai, melainkan kejenuhan publik terhadap gaya kepemimpinan Macron yang dianggap elitis dan jauh dari rakyat.

Siapa yang Bisa Selamatkan Prancis?

Pertanyaan besar kini muncul, siapa yang bisa mengembalikan stabilitas politik Prancis? Beberapa nama disebut-sebut sebagai kandidat potensial, seperti mantan Menteri Keuangan Bruno Le Maire, Wali Kota Paris Anne Hidalgo, hingga tokoh oposisi Marine Le Pen.

Namun, siapa pun yang akan ditunjuk, tantangannya tetap sama: membangun kembali kepercayaan publik dan menyatukan parlemen yang terbelah.

“Krisis ini bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi perdana menteri. Ini soal apakah sistem politik Prancis masih mampu berfungsi di bawah tekanan publik dan kepemimpinan Macron yang melemah,” ujar Marlière. 

Dengan empat perdana menteri jatuh hanya dalam satu tahun, Presiden Macron kini benar-benar berada di ujung tanduk. Jika dia gagal menemukan figur kuat untuk memulihkan stabilitas, bukan tidak mungkin giliran Macron sendiri yang harus turun panggung, bukan karena pemilu, tapi karena kehilangan legitimasi.

Berita Terkait