Minggu, 27 April 2025

Lebaran Ketupat, Tradisi Masyarakat Jawa Seminggu Setelah Idul Fitri

Hidangan Khas Lebaran Ketupat Hidangan Khas Lebaran Ketupat

 

Lebaran Ketupat merupakan tradisi unik umat muslim Jawa saat bulan Syawal. Lebaran Ketupat digelar seminggu setelah Idul Fitri. Biasanya Lebaran Ketupat dirayakan masyarakat Jawa dengan berkumpul bersama keluarga, menyambangi sanak saudara, menggelar acara hajatan, dan reuni bersama teman-teman lama.

Berikut sejarah dan makna Lebaran Ketupat yang menjadi tradisi masyarakat muslim Jawa.

 

  • Pengertian Lebaran Ketupat

Mengutip laman NU Online, masyarakat Jawa mempercayai lebaran ketupat diperkenalkan pertama kali oleh Sunan Kalijaga. Tradisi tersebut muncul pada era Wali Songo dimana masyarakat Nusantara sering mengadakan tradisi slametan.

Pada zaman dulu, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah yaitu Bakda Lebaran yang merupakan tradisi silaturahmi dan bermaaf-maafan setelah sholat Idul Fitri, dan Bakda Kupat (Lebaran Ketupat) yang merupakan perayaan sepekan setelah Idul Fitri.

Lebaran Ketupat diperkenalkan Sunan Kalijaga sebagai pelengkap puasa Ramadan untuk menggenapkan perhitungan puasa satu tahun dalam puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal. Oleh karena itu, dilakukanlah perayaan lebaran Lebaran Ketupat sebagai hari kemenangan telah dilaksanakannya puasa selama satu tahun.

Tradisi lebaran ketupat kemudian dijadikan sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran Islam tentang cara bersyukur kepada Allah SWT, bersedekah, dan bersilaturahmi di hari lebaran.

 

  • Makna Lebaran Ketupat

Tujuan perayaan Lebaran Ketupat tidak terlepas dari makna filosofis ketupat. Menurut buku ‘Fenomena Sosial Keagamaan Masyarakat Jawa dalam Kajian Sosiologi’ (2021) oleh Lilik Setiawan dkk, ketupat melambangkan simbol permintaan maaf dan juga keberkahan. Bahan utama dari ketupat yaitu nasi dan daun kelapa muda memiliki arti khusus. Nasi dianggap sebagai lambang nafsu, sedangkan daun kelapa muda atau janur melambangkan ‘jati ning nur’ yang artinya hati nurani.

Melalui simbolisasi ketupat tersebut, manusia diharapkan mampu menahan nafsu dunia dengan hati nuraninya. Selain itu ketupat juga didefinisikan sebagai “jarwa dhosok’ atau berarti ‘ngaku lepat’. Terdapat pesan bahwa seseorang harus meminta maaf ketika mereka melakukan sesuatu yang salah.

Bungkus ketupat yang terbuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Ketupat yang sudah matang akan digantung di atas kusen pintu depan rumah dalam jangka waktu berhari-hari bahkan berbulan-bulan sampai kering.

Bentuk segi empat ketupat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima pancer,” yang bermakna bahwa kemanapun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah. Anyaman ketupat yang rumit juga dimaknai sebagai cerminan dari berbagai macam kesalahan manusia. Sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah memohon ampun dari kesalahan.

Lebaran Ketupat merupakan perayaan yang menjadi penyempurna momen kemenangan Idul Fitri. Selain itu, Lebaran Ketupat terus dirayakan setiap tahunnya karena mengandung filosofis yang begitu bermakna bagi kehidupan masyarakat Jawa.

 

  • Nilai-Nilai Luhur dalam Tradisi Lebaran Ketupat

Lebaran Ketupat bukan hanya sekadar tradisi perayaan, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur yang patut dilestarikan. Beberapa nilai penting yang terkandung dalam tradisi ini antara lain:

  1. Rasa Syukur: Lebaran Ketupat menjadi wujud rasa syukur atas berkah dan rahmat yang telah diberikan oleh Tuhan selama ini.
  2. Kebersamaan: Perayaan Lebaran Ketupat mempererat tali silaturahmi dan kebersamaan antar anggota keluarga, kerabat, dan masyarakat.
  3. Saling Memaafkan: Lebaran Ketupat menjadi momentum untuk saling memaafkan kesalahan dan memulai lembaran baru yang lebih baik.
  4. Pelestarian Budaya: Tradisi Lebaran Ketupat merupakan bagian dari kekayaan budaya Jawa yang perlu dilestarikan agar tidak punah.
  5. Solidaritas Sosial: Melalui kegiatan berbagi makanan dan bersedekah, Lebaran Ketupat menumbuhkan rasa solidaritas sosial dan kepedulian terhadap sesama

 

  • Sejarah lebaran ketupat

Sejarah lebaran ketupat sendiri sangat erat kaitannya dengan salah satu Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga. Masyarakat Jawa mempercayai Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan ketupat.

Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi mengatakan, tradisi kupatan muncul pada era Wali Songo dengan memanfaatkan tradisi slametan yang sudah berkembang di kalangan masyarakat Nusantara. Tradisi ini kemudian dijadikan sarana untuk mengenalkan ajaran Islam mengenai cara bersyukur kepada Allah swt, bersedekah, dan bersilaturrahim di hari lebaran.

Filosofi ketupat Kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari kata bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”. Sehingga dengan ketupat sesama Muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan dengan cara memakan ketupat tersebut.

Banyak makna filosofis yang dikandung dalam makanan ketupat ini. Bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa sedangkan bentuk segi empat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima pancer,” yang bermakna bahwa ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah.

Sebagian masyarakat juga memaknai rumitnya anyaman bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya. Pada masa lalu, terdapat tradisi unik yang berbau mistis, namun kini sudah jarang ditemukan.

Ketupat juga dianggap sebagai penolak bala, yaitu dengan menggantungkan ketupat yang sudah matang di atas kusen pintu depan rumah, biasanya bersama pisang, dalam jangka waktu berhari-hari, bahkan berulan-bulan sampai kering.

Biasanya, ketupat disajikan bersama opor ayam dan sambal goreng. Ini pun ternyata ada makna filosofisnya. Opor ayam menggunakan santan sebagai salah satu bahannya. Santan, dalam bahasa Jawa disebut dengan santen yang mempunyai makna “pangapunten” alias memohon maaf.

Saking dekatnya kupat dengan santen ini, ada pantun yang sering dipakai pada kata-kata ucapan Idul Fitri: Mangan kupat nganggo santen. Menawi lepat, nyuwun pangapunten (makan ketupat pakai santan. Bila ada kesalahan mohon dimaafkan).

Berita Terkait