Selasa, 17 Juni 2025

Wali Penuh Karomah dari Pesisir Utara Jawa Bernama Syekh Jangkung

Syekh Jangkung (Foto: Ist

 

Di tengah deretan tokoh penyebar islam di Tanah Jawa, nama Syekh Jangkung atau Saridin menempati posisi istimewa. Sosok nyentrik namun sarat karomah ini dikenal luas di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa sebagai wali yang mendakwahkan Islam dengan pendekatan yang unik dan membumi

Lahir dari Keluarga Wali, Dididik Langsung oleh Sunan Kudus

Syekh Jangkung lahir sekitar tahun 1540 M dengan nama asli Sayyid Raden Syarifuddin. Dia merupakan putra dari Sunan Muria dan Dewi Samaran serta cucu dari Sunan Kalijaga dari jalur ayah.

Sejak kecil, Saridin tumbuh dalam tradisi keilmuan Islam yang kuat di masa transisi antara Kerajaan Demak, Pajang hingga Kesultanan Mataram. Dia menimba ilmu langsung dari Sunan Kudus. Namun, gaya hidup dan spiritualitasnya yang tidak biasa sering kali menimbulkan keheranan di kalangan santri dan gurunya.

Salah satu kisah terkenal adalah ketika dia meyakini semua air mengandung ikan. Saat diuji Sunan Kudus dengan air kelapa, secara ajaib muncul ikan kecil berenang di dalamnya. Kisah lain menyebut Saridin mengisi bak mandi menggunakan keranjang rumput berlubang tanpa menumpahkan air setetes pun.

Diusir dari Pesantren, Mengembara hingga Timur Tengah

Meski menunjukkan banyak karomah, perilaku Syekh Jangkung justru dianggap mengganggu tatanan pesantren. Sunan Kudus pun memintanya pergi. Dalam perjalanannya, dia bertemu Sunan Kalijaga dan diberi saran untuk bertirakat di laut.

Saridin yang tidak pandai berenang justru terseret arus hingga ke Palembang. Dari sana, dia melanjutkan pengembaraan ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmu agama Islam. Sekembalinya ke Tanah Jawa, dia menetap di Desa Miyono, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, tempat yang kelak menjadi pusat dakwahnya.

Mendirikan Keluarga dan Menyebar Islam Lewat Tradisi Lokal

Syekh Jangkung menikah dengan Raden Ayu Retno Jinoli, putri Sultan Anyakrawati dari Mataram serta dikisahkan pula menikah dengan putri dari Kesultanan Palembang, Raden Ayu Retnodiluwih. Dari pernikahan itu lahir Raden Bagus Momok Landoh.

Selama bermukim di Pati, dia mengembangkan metode dakwah yang fleksibel, menggabungkan pendekatan sufistik, nilai-nilai lokal, humor dan seni. Namanya pun dikenal hingga pelosok Jawa sebagai wali yang dekat dengan masyarakat biasa.

Makam Syekh Jangkung Jadi Destinasi Ziarah Populer

Syekh Jangkung wafat pada tahun 1641 dan dimakamkan di Desa Landoh, Pati. Hingga kini, makamnya menjadi destinasi ziarah spiritual yang ramai dikunjungi, terutama pada malam Jumat dan bulan-bulan tertentu dalam kalender Hijriah.

“Beliau bukan hanya wali, tapi juga guru kehidupan. Ajarannya banyak tersebar dalam bentuk tutur lisan, lakon pewayangan, hingga budaya sedekah bumi,” ujar Romo Kyai Ahmad Zainuri, pengasuh pondok di Kayen.

Syekh Jangkung menjadi simbol penting dalam perpaduan antara Islam dan budaya Jawa. Pendekatannya yang lentur namun mengakar menjadi bukti bahwa dakwah tidak harus formal dan kaku. Jejak kehidupannya menunjukkan bahwa jalan spiritualitas kadang tak linear – bisa nyentrik, penuh tantangan, tapi selalu memberi hikmah bagi umat. Warisan Syekh Jangkung pun tetap hidup di hati masyarakat hingga hari ini.

Berita Terkait