Selasa, 22 Oktober 2024

Biografi Lengkap Gus Ali Pengasuh Ponpes Bumi Shalawat Sidoarjo

KH. Agoes Ali Masyhuri atau biasa di panggil Gus Ali ialah salah satu ulama kharismatik dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur.

Gus Ali merupakan seorang ulama yang berasal dari daerah Tulangan Kabupaten Sidoarjo.

Beliau merupakan pengasuh dari lembaga pendidikan Islam Ponpes Bumi Shalawat yang berada di Desa Lebo Kecamatan/Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Nama Ponpes Progresif Bumi Shalawat yang berdiri diatas lahan kurang lebih 16 hektar diambil dari kecintaan beliau kepada Shalawat Nabi Muhammad SAW.

Ponpes Bumi Shalawat merupakan salah satu pondok yang terkenal seantero Nusantara, bahkan tak jarang Gus Ali juga kerap diundang mengisi ceramah di berbagai daerah hingga ke mancanegara. Selain suka mengisi ceramah, ayahanda dari Ahmad Muhdor Bupati Sidoarjo juga banyak menulis buku.

Salah satu buku yang beliau tulis ialah berjudul: Mengetuk Pintu Langit, Suara Dari Langit, Belajarlah Kepada Lebah dan Lalat, Titian Allah dan Rasul, Maling jadi Wali dan masih banyak lainnya.

 

Silsilah Gus Ali yang dirangkum dari berbagai sumber:

Kiai Agoes Ali Masyhuri lahir di Sidoarjo pada 3 September 1958 dari pasangan kiai Mubin dan nyai Amnah.

Kiai yang lebih masyhur dipanggil dengan nama Gus Ali ini kalau dirunut silsilah beliau ke atas akan ketemu dengan kiai Dasuki, kemudian kiai Misbah (mbah Singapur) bin kyai Muhdor.

Kiai Muhdor atau mbah Muhdor ini juga merupakan sosok buyutnya mbah Maimun Zubair (mbah Moen) Sarang.

Bahkan meski umur Gus Ali terbilang lebih muda daripada mbah Moen namun mbah Moen memanggil “paman” pada Gus Ali.

Beliau mempunyai dua belas anak dari pernikahannya dengan bu nyai Qomariyah. Kedua belas anaknya tersebut dipercayakan pendidikannya ke berbagai pesantren. Pendidikan Gus Ali  sendiri dimulai dari lembaga pendidikan di sekitar rumahnya daerah Tulangan, utamanya lingkungan keluarganya sendiri. Beliau juga sempat kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya yang pada saat itu masih bernama IAIN namun tidak sampai tamat.

Beliau lebih identik sebagai santri kalong sebab tidak pernah mondok mukim lama di suatu pesantren tertentu.

Sanad ilmu dan doa beliau dapatkan hampir dari semua pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan kiai-kiai karismatiknya.

 

Berawal dari langgar kecil

Sebuah langgar di Desa Kenongo, Kecamatan Tulangan, Kabupaten Sidoarjo menjadi titik awal sepak terjang Gus Ali dan Ponpes Bumi Shalawatnya.

Langgar itu menjadi satu dengan lokasi rumah Gus Ali

Santri pertama berjumlah sembilan orang pada 1982. Gus Ali mengurus segala keperluannya, mulai dari menyiapkan saran belajar hingga mengajar pada pagi, sore dan malam hari.

Model belajar masih kuno, mereka mendalami ilmu agama saja.

Gus Ali sendiri tidak mengerti dari mana mereka tahu ada aktivitas belajar agama di langgarnya.

“Semuanya takdir, mereka datang begitu saja dari Blora dan Bojonegoro. Saya tidak pernah menyebar informasi seperti pamflet, apalagi ponsel atau internet yang belum ada waktu itu,” kenangnya.

Baik saat santri masuk atau keluar, jumlah mereka bertahan di angka Sembilan.

Para santri pertama itu ngawulo semua, istilah yang dipakai Gus Ali bagi santri yang tidak mampu. Tempat tinggal, biaya  hidup dan belajar ditanggung sang kiai.

Sampai saat ini, meski sudah berpredikat modern, santri ngawulo Gus Ali masih banyak, ada puluhan orang.

Tahun berganti, jumlah santri beliau bertambah. Periode 1988 sampai 1990, jumlah santrinya melonjak menjadi 150 orang. Perjalanan pondok kecilnya memang naik turun. Pada 1998, misalnya, jumlah santri turun meski tidak drastis.

Tantangan terberat dihadapi pada 2005, tetapi pondok masih bisa bertahan dan berkembang. Tepat pada 2010, berdirilah SMP dan SMA Progresif Bumi Shalawat di Lebo.

Sedangkan di Tulangan, diubah Gus Ali menjadi full day school yang sistemnya lebih modern

Gus Ali juga membeli sebidang tanah di tengah pemukiman warga di Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo Kota.

Butuh sekitar 30 menit untuk sampai ke pondok ini dari pusat Kota Delta. Hanya ada plang sederhana di pinggir jalan yang menunjukkan lokasi pondok.

“Tanpa plang itu, banyak yang nyasar karena pondok saya ini masuk lewat gang sempit,” kata Gus Ali.
Memang benar, untuk mencapai area pondok, Anda harus melewati kampung.

Bagi yang pertama kali datang, mereka tidak akan menyangka di tengah perkampungan itu ada ponpes. Pintu masuk ponpes ini juga tidak berupa gapura besar. Hanya ada tulisan sederhana yang melekat di tembok pembatas pondok. Masuk area pondok, pandangan kita akan dimanjakan dengan bangunan masjid megah.

Di bagian kanan, rumah sang kiai berdiri. Tepat di samping dan belakang masjid, ada bangunan tiga sampai empat lantai yang merupakan kelas dan ruang asrama.

Desain kompleks pondok ini sederhana, mirip sekolah umum. Di sinilah seribuan santri mengembangkan ilmu agama dan pengetahuan umumnya.

“Mereka belajar dan mengaji, dari sini santri saya lulus dan menyebar ke seantero Indonesia dan luar negeri untuk berkarya,” ungkapnya.

Bagi Gus Ali tidak ada kebahagiaan lain kecuali melihat santrinya sukses. Hidupnya selalu bahagia karena mengeluti dunia pendidikan.

Berita Terkait